Wadie Maharief
Balada Tumira, Penjual Jamu
Tumira penjual jamu
Tiap pagi
Keliling kota
Naik sepeda tua
Tiap pagi
Keliling kota
Naik sepeda tua
Tumira beranak dua
Tinggal di gubuk
Mewah alias mepet sawah
Suami tidak bekerja
Tinggal di gubuk
Mewah alias mepet sawah
Suami tidak bekerja
Tumira ayu
Melayani pembeli
Tersenyum selalu
Luwes dan lugu
Melayani pembeli
Tersenyum selalu
Luwes dan lugu
Tumira.....
Oh, Tumira
Sekolah tak tamat SMP
Membaca pun
Terbata-bata
Tapi Tumira tidak bodoh
Perempuan desa
Suka dengar berita
Juga tentang politik
dan artis di televisi
Ketika ada pemilihan
Wakil Rakyat dan Presiden
Tumira enggan memilih
“Aku golput wae” katanya tersenyum
Ketika harga-harga naik
Penjual jamu yang ayu ini
Bilang; “Salahmu dewe pilih
Presiden merakyat”
Kalau pilih presiden itu
Bukan yang merakyat
Tapi yang mau
Mensejahterakan rakyat
“Lha kalau presiden merakyat
Berarti presidenya itu
Mau jadi seperti rakyat
Hidupnya melarat”
Tumira memang cerdas
Walau hidupnya tak berkelas
“Presiden harus mengangkat
Derajat hidup rakyat, bukan
Ikut merakyat kesrakat, ” katanya
Akh, Tumira, Tumira
Hari ini dia pulang
Dengan botol-botol jamu
Masih penuh
“Orang-orang barangkali
Sudah bosan minum jamu le,” katanya
Kepada anaknya yang mau
Daftar sekolah
“Kowe belum bisa masuk
Sekolah, mamak belum
Punya uang, bayarnya mahal,”
Tumira memeluk anaknya
Ia menatap lesu
Sepeda tuanya
Bersandar di dinding
Gedek bambu rumahnya
“Mau membuat anak
Menjadi pintar itu, susah…!” bisiknya
----------- Yogya, 17 Maret 2015
Wadie Maharief
Sumijem, Balada Penyadap Nira
Sumijem lebih suka
Dipanggil dengan sebutan
Mbah Emi
Jand beranak lima
Cucu juga baru lima
Dipanggil dengan sebutan
Mbah Emi
Jand beranak lima
Cucu juga baru lima
Berumah di pinggir sungai
Pekerjaan penyadap nira
Di musim tanam
dan musim panen
Mbah Emi jadi buruh tani
Pekerjaan penyadap nira
Di musim tanam
dan musim panen
Mbah Emi jadi buruh tani
Ini musim hujan
Menyebabkan cuaca dingin
Pohon-pohon kelapa pun kedinginan
Dalam balutan lumut-lumut licin
Tapi mbah Emi tetap harus manjat
Untuk mengambil nira
Menyebabkan cuaca dingin
Pohon-pohon kelapa pun kedinginan
Dalam balutan lumut-lumut licin
Tapi mbah Emi tetap harus manjat
Untuk mengambil nira
Maka pagi seusai subuh itu
Orang-orang kampung berduka
Sumijem jatuh dari pohon kelapa
Setinggi duapuluh lima meter
Meski perempuan perkasa itu
Tidak cedera apa-apa
Orang-orang kampung berduka
Sumijem jatuh dari pohon kelapa
Setinggi duapuluh lima meter
Meski perempuan perkasa itu
Tidak cedera apa-apa
Sepekan setelah jatuh dari pohon kelapa
Anak gadisnya Sumilah pamit
Hendak jadi babu di luar negeri
“Aku ra po po nduk, mamak sehat-sehat wae,
nek kowe arep lungo, lungo wae, ra po po…!”
begitu kata mbah Emi
“Aku mau kerja saja, biar
di luar negeri
Tidak apa-apa. Kalau aku sudah kerja
Mamak tidak boleh manjat kelapa lagi.
Nanti mamak aku kirimi uang dari luar negeri !”
kata Sumilah yang memang sudah
lama ingin jadi babu
Tenaga Kerja Wanita di luar negeri
Seperti teman-temannya yang lain
yang sudah banyak duit sekarang
Maka pergilah Sumilah
Meninggalkan mimpi untuk mamaknya
Memang hanya mimpi
yang dia tinggalkan
karena sejak itu Sumilah tak pernah
kembali
dan Mbah Emi masih saja
manjat kelapa dan menyadap nira
-------- Yogya, 18 Maret 2015
Wadie Maharief, lahir 13 Maret 1955 di
Prabumulih Sumatera Selatan, puisi, esai, dan
cerpennya banyak dimuat di media regional dan nasional, turut dalam beberapa
antologi bersama nasional, tinggal di Yogyakarta.