Alif Raung Firdaus,
Kepada
Perempuan Pedagang
Lembayung
senja wajahmu, perempuan
Sekhusyu’
malam yang teduh kutatap dalam pejam
Meski
bayang-bayang, hanya bayang-bayang
Tapi
tepatlah kau berdiam dalam angan
Di
balik batu besar tepi Sampean Baru
Aku
duduk menunggu langit sore bertamu
Sembari
membayangkan piring-piring kotor
Baju-baju
bernoda yang mesti direndam
Dan
bahumu yang sedikit terbuka
Kapankah
batu-batu kali akan kembali bernyanyi
Mengucap
salam atas kedatangan peri
Kedatanganmu,
perempuan bermata pualam
Tubuhmu
beraroma matahari
Setelah
seharian bergelut keramaian
Mendiami
sudut pasar dengan riang
Inikah
setulusnya kehidupan, perempuan?
Ikan
pindang, tongkol, dan sekumpulan teri
Yang
terbaring di sela sayuran
Menyisakan
aroma lautan di rambutmu
Aku
seperti berlayar di tengah samudra
Yang
dibakar terik matahari
Di
atas perahu nelayan yang mulai pudar warnanya
Dan
di atas perahu itu, kita hanya berdua
Begitukah
pertemuan yang manis,
Perempuan?
Di
tepi Sampean Baru yang bergemuruh
Aku
menunggumu dengan kepala yang gaduh
Aroma
matahari, laut, baju-baju yang kumal
Piring-piring
kotor, dan segala harapanmu
Yang
mulai kusam, juga tubuh gemulai
Marilah
berjumpa, perempuan!
Lembayung
senja wajahmu
Sekhusyu’
malam yang teduh kutatap dalam pejam
Meski
bayang-bayang, hanya bayang-bayang
Tapi
tepatlah kau berdiam dalam angan
Lantaran
aku juga begitu, perempuan
Jember, 03 Maret 2015
Alif
Raung Firdaus
Mirah
Sumirahkah
dia? Perempuan yang berjalan di bawah gerimis
Pada
lorong berkelok yang membawanya pulang dari ladang?
Disingsingnya
rok panjang itu, dibiarkannya menaiki puncak betis
Sekujur
tubuhnya tak bergeming diterpa percikan lumpur
Dari
tanah becek yang memucat. Inilah harapan! Inilah doa!
Sumirahlah
dia! Yang menyerahkan siangnya pada harapan;
Terik
matahari, bocah yang merindu di rumah, juga kenangan
Seperti
ketika malam-malam yang menggigil, ia ditimang pelukan
Lelaki
berkumis dengan janggut sedikit tebal. Ketika itulah
Ia
mengenang kembali jalan-jalan kecil di tengah kota
Tempat
rayuan-rayuan manis pernah ia sesap dari mulut
Para
bajingan yang kehilangan cinta pada pukul 12 malam
Lalu
rayuan-rayuan itu, kini tumbuh sebagai lelaki yang murung
Dan anak-anak
seumur jagung yang meniti harapan dengan menganga
Lalu
jalan-jalan kecil di tengah kota, hanya rembulan yang muram
Menjelma
lorong berkerikil, yang ketika hujan tiba, tanah akan menangis
Dan
Sumirah akan berjalan dengan berjingkat memamerkan betis
Dialah
Sumirah! Dahinya yang mulai legam dikecup bara matahari
Matanya
cekung oleh tangisan yang disembunyikannya di tengah ladang
Namun
doanya, harapannya, terus tumbuh menjalari masa tuanya
Ia
adalah anak-anak sungai yang mengecup batu-batu dengan tabah
Ia
adalah akar pepohonan yang teguh melawan gedung-gedung tinggi
Ia
adalah udara sesawahan yang menyesakkan cerobong asap pabrik
Sumirahlah
dia, perempuan yang berjalan di bawah gerimis
Menghentakkan
kakinya pada tanah yang kian pucat pasi
Berlarian
di tengah ladang lalu membuang semua lukanya
pada
sisa perjalanan yang belum usai ia pijak dengan tangis
Jember,
12 Januari 2015
Alif Raung Firdaus,penyair ini tinggal di Mangli, Jember, Jawa Timur.
Alfi Raung Firdaus
Mirah
Sumirahkah
dia? Perempuan yang berjalan di bawah gerimis
Pada
lorong berkelok yang membawanya pulang dari ladang?
Disingsingnya
rok panjang itu, dibiarkannya menaiki puncak betis
Sekujur
tubuhnya tak bergeming diterpa percikan lumpur
Dari
tanah becek yang memucat. Inilah harapan! Inilah doa!
Sumirahlah
dia! Yang menyerahkan siangnya pada harapan;
Terik
matahari, bocah yang merindu di rumah, juga kenangan
Seperti
ketika malam-malam yang menggigil, ia ditimang pelukan
Lelaki
berkumis dengan janggut sedikit tebal. Ketika itulah
Ia
mengenang kembali jalan-jalan kecil di tengah kota
Tempat
rayuan-rayuan manis pernah ia sesap dari mulut
Para
bajingan yang kehilangan cinta pada pukul 12 malam
Lalu
rayuan-rayuan itu, kini tumbuh sebagai lelaki yang murung
Dan anak-anak
seumur jagung yang meniti harapan dengan menganga
Lalu
jalan-jalan kecil di tengah kota, hanya rembulan yang muram
Menjelma
lorong berkerikil, yang ketika hujan tiba, tanah akan menangis
Dan
Sumirah akan berjalan dengan berjingkat memamerkan betis
Dialah
Sumirah! Dahinya yang mulai legam dikecup bara matahari
Matanya
cekung oleh tangisan yang disembunyikannya di tengah ladang
Namun
doanya, harapannya, terus tumbuh menjalari masa tuanya
Ia
adalah anak-anak sungai yang mengecup batu-batu dengan tabah
Ia
adalah akar pepohonan yang teguh melawan gedung-gedung tinggi
Ia
adalah udara sesawahan yang menyesakkan cerobong asap pabrik
Sumirahlah
dia, perempuan yang berjalan di bawah gerimis
Menghentakkan
kakinya pada tanah yang kian pucat pasi
Berlarian
di tengah ladang lalu membuang semua lukanya
pada
sisa perjalanan yang belum usai ia pijak dengan tangis
Jember,
12 Januari 2015
Alif Raung Firdaus,penyair ini tinggal di Mangli, Jember, Jawa Timur.