Janah Nasution



Janah Nasution

Akhir Sang Perempuan Pemimpi

Sepercik kemarahan tak terungkap tercetak jelas di raut lelah
Wajah yang tetap tersenyum walau angin dingin senantiasa menampar wajahnya
Menambah alur di wajahnya yang tak lagi muda
Walau pasti umur tak menjamahnya dengan sepenuh hati
Hanya kemarahan tak terungkap, tak terucap yang menyeret wajah ayu nan ceria miliknya
Menjadi tua sebelum saaatnya
Memaksa ketuaan dalam lubang kasat mata bernama kesabaran
Perempuan yang mendamba tawa tapi menuai derita

Dibawah tatapan membunuh tanpa belas kasihan sang surya, perempuan muda itu menyeret langkah kaki menembus abu pekat jalanan kota
Menepiskan lelah, lapar dan mau yang berserabutan memaksa keluar dari lubuk hati terdalam
Tapi terkalahkan senyum yang tersungging diwajahnya
Kalah dari kepasrahan yang melekat erat jauh disanubari tak tersentuh ego dan ketaamakan yang menumpuk di dada manusia pongah bernama pemimpin
Dia takluk..
Menghamba..
Padahal jauh didalam jiwa yang bergejolak, ada kerinduan yang menghujam jantung menghancurkan rasa meremukann asa
Rindu tak benama yang menuju sepetak tanah gersang nun jauh diujung asa yang bernama kampung halaman
Kerinduan yang senantiasa ganggu tidur tak nyenyaknya
Kerinduan tentang air yang memijat lembut  tapak kakinya saat membelah nadi kehidupan dan bergemericik menghilangkan penat yang mendenyut di gang lion otaknya saat beras tak ada lagi di lumbung rumah
Kerinduan tentang tanah berbatu tak mulus bahkan terkadang mengguncang dan menghabiskan cadangan kehidupan, tapi dengan senyum mengulah kegersangan menjadi kehidupan yang berlanjut
Kerinduan tentang angin yang mengisi rongga dada dengan sejuk dan damai..
Rindu yang tak terjawab dengan air berkaporit yang menyesak di lambungnya
Rindu yang salah kamar saat udara bau tersampaikan oleh angin yang melintas dari sungai-sungai berbau busuk di bawah lantai mal-mal megah yang tak ramah padanya
Rindu yang tak terjawab pada jalanan beraspal yang menguapkan mimpi dan angan untuk menjadi manusia yang sama..
Semuanya lenyap.. bak asap.. bak uap.. bak keringat yang  meleleh membasahi lekuk tubuh yang menjerit minta dibebaskan.
Sebuah kebebasan yang harus dia bayar dengan lelehan darah dan airmata
Saat tubuh ringkih tak berdaya terhempas diaspal yang menguapkan mimpinya akan tanah gersang yang dia sebut kampung halaman
Saat keegoaan sosok bernama manusia membenamkan angan kedalam genangan air busuk bernama comberan di sudut bumi bernama kota
Saat udara pengap mengaburkan dan melenyapkan kesejukan dalam dada yang megap menghirup udara kehidupan
Saat itu..
Puluhan pasang mata menyaksikan tubuh ringkih perempuan pembawa mimpi terkalahkan oleh rangka besi sang tunggangan kegagahan sang manusia penguasa kota
Dan mimpi terselesaikan sampai disini.
Ya disini..
Diujung kata.. ujung jari yang menorehkan kisah sang perempuan pemimpi
Yang membawa mimpi akan kampung sampai di detik nafas kehidupan yang terenggut oleh keperkasaan kota..
Perempuan kampung dengan mimpi yang terperkosa oleh kegagahan kota yang busuk!!
Katakan duhai angin..
Sampaikan kepada perempuan-perempuan kampung dengan mimpi menjulang menembus langit..
Mimpi akan menjadi nyata, tidak didalam mobil mewah, tidak juga dalam rumah bak istana
Tapi mimpi ada dalam senyum dan tawa dibawah rimbun pohon beralaskan rumput saat terik mentari memanggang tubuh diatas kesombongan..
Katakan.. katakanlah..