Ikvan Hadi Prasetyo


Ikvan Hadi Prasetyo

Bunga
Engkau pekat dibalik tirai
Serupa hujan tertutup awan
Dambaan hati riang berlari
Gairah diri tertutup budi

Wahai kelopak indah
Sanjunglah aku
Pikatlah aku
Hanyutkanku dalam wangimu
Belai aku dalam jiwamu

Wahai bunga penyejuk taman
Engkau cemerlang
Engkau berpegang budi pekerti
Dambaan hati sang kutisari

Surabaya, 31 Maret 2015.











Ikvan Hadi Prasetyo, penyair muda  ini tinggal di Gubeng  Surabaya

064.Alif Raung Firdaus,
Kepada Perempuan Pedagang
Lembayung senja wajahmu, perempuan
Sekhusyu’ malam yang teduh kutatap dalam pejam
Meski bayang-bayang, hanya bayang-bayang
Tapi tepatlah kau berdiam dalam angan
Di balik batu besar tepi Sampean Baru
Aku  duduk menunggu langit sore bertamu
Sembari membayangkan piring-piring kotor
Baju-baju bernoda yang mesti direndam
Dan bahumu yang sedikit terbuka
Kapankah batu-batu kali akan kembali bernyanyi
Mengucap salam atas kedatangan peri
Kedatanganmu, perempuan bermata pualam
Tubuhmu beraroma matahari
Setelah seharian bergelut keramaian
Mendiami sudut pasar dengan riang
Inikah setulusnya kehidupan, perempuan?
Ikan pindang, tongkol, dan sekumpulan teri
Yang terbaring di sela sayuran
Menyisakan aroma lautan di rambutmu
Aku seperti berlayar di tengah samudra
Yang dibakar terik matahari
Di atas perahu nelayan yang mulai pudar warnanya
Dan di atas perahu itu, kita hanya berdua
Begitukah pertemuan yang manis,
Perempuan?
Di tepi Sampean Baru yang bergemuruh
Aku menunggumu dengan kepala yang gaduh
Aroma matahari, laut, baju-baju yang kumal
Piring-piring kotor, dan segala harapanmu
Yang mulai kusam, juga tubuh gemulai
Marilah berjumpa, perempuan!
Lembayung senja wajahmu
Sekhusyu’ malam yang teduh kutatap dalam pejam
Meski bayang-bayang, hanya bayang-bayang
Tapi tepatlah kau berdiam dalam angan
Lantaran aku juga begitu, perempuan
Jember, 03 Maret 2015
Alif Raung Firdaus
Mirah

Sumirahkah dia? Perempuan yang berjalan di bawah gerimis
Pada lorong berkelok yang membawanya pulang dari ladang?
Disingsingnya rok panjang itu, dibiarkannya menaiki puncak betis
Sekujur tubuhnya tak bergeming diterpa percikan lumpur
Dari tanah becek yang memucat. Inilah harapan! Inilah doa!
Sumirahlah dia! Yang menyerahkan siangnya pada harapan;
Terik matahari, bocah yang merindu di rumah, juga kenangan
Seperti ketika malam-malam yang menggigil, ia ditimang pelukan
Lelaki berkumis dengan janggut sedikit tebal. Ketika itulah
Ia mengenang kembali jalan-jalan kecil di tengah kota
Tempat rayuan-rayuan manis pernah ia sesap dari mulut
Para bajingan yang kehilangan cinta pada pukul 12 malam
Lalu rayuan-rayuan itu, kini tumbuh sebagai lelaki yang murung
Dan anak-anak seumur jagung yang meniti harapan dengan menganga
Lalu  jalan-jalan kecil di tengah kota, hanya rembulan yang muram
Menjelma lorong berkerikil, yang ketika hujan tiba, tanah akan menangis
Dan Sumirah akan berjalan dengan berjingkat memamerkan betis