Hasan Bisri BFC:
Adakah yang lebih menarik dari lekuk dada
perempuan sehabis mandi di sungai? Ataukah betis kaki yang menyerupai ranum
batang padi yang menyembul dari kain batik? Ataukah bulir keringat yang mengalir
dari pipi dan meleleh hingga ke jenjang leher putih?
Adakah yang lebih mengundang simpati dari
keramahan, ketekunan dan ketabahan perempuan yang menjaring matahari di
sawah-ladang dan pasar setiap pagi? Atau yang menyunggi harapan dan cita-cita
di kepalanya karena fitrah sebagai manusia yang tak bisa dielakinya? Atau
perempuan yang kehilangan sebagian peran suami sehingga di lengannya bergayut
beban kerja bagi buah hati?
Perempuan desa, ia sebagai personal ataupun
makhluk sosial senantiasa menjadi sumber inspirasi dan obyek puisi yang tak
habis-habisnya. Apalagi dalam perspektif kekinian: peran perempuan gampang
bergeser, atau bahkan keluar dari jalur yang sudah berakar. Dari sektor
domestik ke sektor publik. Adakah itu sebuah kesadaran ataukah hasil dari
keterpaksaan? Maka kita akan segera membaca: bondongan perempuan urban.
Ramai-ramai menjadi tki. Tak malu-malu merambah dunia prostitusi. Tak heran
menjadi perempuan di simpang jalan: perempuan desa yang berubah penampilan
menjadi perempuan kota.
Maka, betapa penting dan mendesak, ketika
panitia Himpunan Masyarakat Gemar Membaca Indonesiaa mengusung tema “Perempuan Desa”. Ia akan menjadi
semacam deteksi atau bahkan peringatan dini, sejauh mana kiprah sosial
perempuan desa kiwari. Fenomena yang patut disukuri ataukah justru harus
diwaspadai! Wallaahu a’lam bishshowab
Jakarta, 10 April 2015